Rabu, 27 Mei 2015

Tugas Kesehatan Mental 2



Hubungan kesehatan mental dengan kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosi (EI)

Di tahun 1990, dua Psikolog, Peter Salovey dan John Mayer mengeluarkan istilah kecerdasan emosi atau EI. Hal ini mengacu pada keempat keterampilan yang saling berhubungan: kemampuan untuk melihat, menggunakan, memahami dan mengelola atau mengatur emosi—milik kita sendiri atau orang lain—sehingga dapat mencapai tujuan. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk memanfaatkan emosi untuk menghadapi lingkungan sosial secara lebih efektif. Hal ini membutuhkan kesadaran mengenai tipe-tipe perilaku yang sesuai dalam suatu kondisi sosial.

untuk mengukur kecerdasan emosi, psikolog menggunakan tes kecerdasan emosi Mayer-Salovey-Caruso (MSCEIT) (Mayer, Salovy, & Caruso, 2002), tes berdurasi 40 menit untuk menjawab pertanyaan dari tes tersebut yang menghasilkan skor untuk setiap kemampuan tersebut, sebagai nilai total.

Kecerdasan emosi berdampak pada kualitas hubungan personal. Studi menemukan bahwa mahasiswa yang mendapat nilai tinggi pada MSCEIT melaporkan cenderung lebih memiliki hubungan yang posisitf dengan orang tua dan teman-temannya, sedangkan mahasiswa yang memiliki nilai yang rendah pada MSCEIT melaporkan terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan mengonsumsi alcohol berlebihan, dan tema-teman dekat mahasiswa yang memiliki nilai tinggi dalam MSCEIT menilai sebagai orang yang cenderung lebih memberikan dukungan emosional seetiap saat jika diperlukan. Pasangan mahasiswa yang keduanya memiliki nilai tinggi pada MSCEIT memiliki hubungan yang membahagiakan, saat pasangan yang nilainya rendah tidak berbahagia.

Kesehatan mental

Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Orang dewasa paruh baya lebih mungkin mengalami distress psikologis serius: kesedihan yang berlebihan, rasa gugup, putus asa, dan rasa tak berharga sepanjang waktu dari pada orang dewasa yang lebih muda atau yang lebih tua. Individu dewasa dengan tekanan psikologis yang serius lebih mungkin dibandingkan sebayanya didiagnosis menderita penyakit jantung, diabetes, artritis atau stroke dan melaporkan perlu bantuan di kehidupan sehari-hari seperti  mandi dan berpakaian.

 Dalam studi nasional yang luas dari perempuan usia paruh baya, sekitar 1 dari 4 menunjukkan gejala depresi. Sebagaimana studi sebelumnya, prevalensi tertinggi terjadi diantara perempuan Afro Amerika dan Hispanik Amerika dan terendah terjadi diantara perempuan china amerka dan jepang amerika. Perbedaan SSE dan factor berisiko lainnya mungkin menjelaskan kesenjangan ras/etnis tersebut. perempuan yang kurang berpendidikan dan memiliki kesulitan memenuhi kebutuhan dasar lebih mungkin memiliki gejala depresi. begitu juga, mereka yang menyebut kesehatan mereka buruk atau cukup dan ada yang menyebut mereka berada dibawah tekanan atau kurang mendapatkan dukungan sosial dan factor-faktor tersebut jauh lebih penting dibandingkan tanda yang nyata dari SSE.

Kesehatan mental seseorang sangat berpengaruh dalam kecerdasan emosinya. Pepatah kuno Solomon, “ Hati yang riang adalh obat yang baik”, menjadi acuan bagi penelitian setiap saat. Emosi negative seperti kecemasan dan putus asa sering kali dihubungkan dengan kesehatan fisik dan mental yang buruk, dan emosi positif seperti harapan, dihubungkan dengan kesehatan yang baik dan kehidupan yang lebih lama. Karena otak berinteraksi dengan semua system biologis tubuh, perasaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap fungsi tubuh, termasuk fungsi system imun. Suasana hati negative rupanya menahan fungsi system imun dan meningkatkan kerentanan pada penyakit, suasana hati yang posisitf tampaknya mempertinggi fungsi imun.

Referensi :

Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba Humanika

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed. Jakarta:           Salemba Humanika.

Tugas Kesehatan Mental 2



Fenomena Depresi

Teori Depresi

            Prevalensi depresi meningkat selama masa remaja. Rata-rata tahunan hampir mendekati 9 persen anak-anak muda usia 12 hingga 17 tahun memiliki pengalaman setidaknya satu episode mengalami depresi dan hanya sekitar 40 persennya telah dirawat (National Survey on Drug Use and Health [NSDUH], 2008). Angka pada umumnya meningkat  sesuai bertambahnya usia. Depresi pada orang muda tidak selalu tampak sebagai bentuk kesedihan, tetapi juga mudah marah, kejenuhan atau ketidakmampuan untuk menikmati rasa senang. Salah satu alasan depresi memerlukan penanganan serius adalah karena menimbulkan bahaya bunuh diri (Brent & Birmaher, 2002).
            Standar dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian dan kepuasan diri. Akan tetapi saat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi, mereka memiliki kemungkinan untuk gagal yang lebih tinggi. Kegagalan sering berakibat terhadap depresi, dan orang-orang depresi sering menurunkan nilai pencapaian mereka sendiri. Hasilnya adalah kesedihan kronis, perasaan tidak berharga, perasaan tidak memiliki tujuan, dan depresi yang bertahan. Bandura (1986, 1997) yakin bahwa depresi disfungsi dapat terjadi dalam salah satu dari tiga subfungsi regulasi diri : (1) observasi diri, (2) proses penilaian, dan (3) reaksi diri.
            Remaja depresi yang tidak merespons pada penanganan rawat jalan atau yang memiliki ketergantungan zat-zat atau psikosis atau bunuh diri memerlukan perawatan rumah sakit. Setidaknya 1 dari 5 orang yang memiliki serangan depresi baik itu di masa anak-anak atau remaja berisiko menderita gangguan bipolar, ketika episode depresi (periode “rendah”) berubah menjadi episode manic (periode “tinggi”) yang dikategorikan sebagai meningkatnya energy, euphoria, sifat muluk, mengambil risiko (Brent & Birmaher, 2002). Bahkan remaja dengan gejala yang tidak cukup parah untuk diagnosis depresi berisiko tinggi mengalami depresi klinis dan perilaku bunuh diri di usia 25 tahun (Fergusson, Horwood, Ridder, & Beautrais, 2005).

Penyebab Depresi

            Remaja putri, terutama yang matang lebih awal, ternyata lebih depresi dibandingkan remaja putra (Brent & Birmaher, 2002; Ge, Conger, & Elder, 2001; SAMHSA, 2005; Stice, Presnell, & Bearman, 2001). Perbedaan gender ini mungkin terkait dengan perbedaan biologis yang berhubungan dengan pubertas; studi menunjukkan hubungan antara pubertas dini dengan gejala depresi (Susman & Rogol, 2004). Faktor lain yang memungkinkan adalah cara anak perempuan bersosialisasi (Birmaher dkk, 1996) dan kerentanan mereka untuk menjadi stress dalam hubungan sosial (Ge dkk, 2001; Hankin, Mermelstein, & Roesch, 2007).
            Ditambahkan untuk gender perempuan faktor-faktor resiko untuk depresi seperti diabetes atau epilepsy, konflik hubungan orang tua dan anak, dilecehkan atau diabaikan, penggunaan alcohol dan obat-obatan, aktivitas seksual, dan memiliki orang tua dengan sejarah depresi. Penggunaan alkohol dan obat-obatan serta aktivitas seksual ternyata memicu depresi pada anak perempuan dari pada anak laki-laki (Brent & Birmaher, 2002; Halfors, Waller, Bauer, Ford, & Halpern, 2005; SAMHSA, 2005; Waller dkk, 2006). Masalah citra tubuh dan gangguan makan dapat memperburuk gejala depresi (Stice & Bearman, 2001).
            Depresi disfungsi menurut Bandura yang pertama, saat observasi diri  orang dapat salah dalam  menilai performa mereka sendiri atau mendistorsi ingatan mereka mengenai pencapaian di masa lalu. Orang-orang depresi cenderung umtuk membesar-besarkan kesalahan mereka di masa lalu, dan mengecilkan pencapaian mereka terdahulu, suatu kecenderungan yang akan meningkatkan depresi mereka.
            Kedua, orang-orang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Mereka menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan. Walaupun mereka telah mencapai kesuksesan di mata orang lain, mereka terus mengkritik performa mereka. Depresi lebih mungkin terjadi pada mereka yang menentukan tujuan dan standar personal yang jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan mereka untuk mencapai hal-hal tersebut.
            Terakhir, reaksi diri dari orang-orang depresi cukup berbeda dari mereka yang tidak depresi. Orang-rang depresi tidak hanya menilai diri mereka dengan keras, mereka juga cenderung memperlakukan diri mereka dengan buruk karena keterbatasan-keterbatasan mereka.

Analisis

            Depresi adalah masalah psikologis yang dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya karena konflik dengan seseorang, merasa di kucilkan, diabaikan, dilecehkan, dan lain-lain. Orang-orang yang depresi merasa putus asa yang terlalu dalam dan merasa dirinya tidak berguna. Orang yang depresi cenderung menarik diri dari lingkungan, tidak melakukan aktivitas selayaknya orang pada umumnya, merasa tertekan dan terus menerus menganggap rendah dirinya. Dikatakan juga bahwa seseorang yang depresi dikarenakan memiliki suatu tujuan yang lebih tinggi dari standar yang ia miliki.
            Remaja putri yang mengalami masa pubertas lebih awal memiliki risiko depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan perubahan fisik maupun hormonal yang terjadi pada saat pubertas dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan dan laki-laki. Pada remaja putri, memiliki penilaian negatif terhadap tubuhnya,mereka sering merasa tidak puas pada tubuhnya, merasa dirinya gemuk, tidak menarik, dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja putra mempersepsikan hal itu secara positif. Menurut Steinberg (2002), remaja putri memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding putra. Hal ini menyebabkan remaja putri memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan dengan orang lain, membuat remaja putri lebih tergantung pada orang lain yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja putri lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan hubungan interpersonal, sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya depresi.

Depresi memiliki gejala seperti berikut :

  • Rasa sedih atau cemas yang terus menerus
  • Rasa putus asa dan pesimis
  • Rasa bersalah, merasa tidak berharga 
  • Kehilangan minat atau kesenangan atas hobi atau aktivitas yang sebelumnya disukai 
  • Energi lemah, kelelahan, menjadi lambat
  • Sulit berkonsentrasi, mengingat dan memutuskan
  • Sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hypersomnia) 
  • Sulit makan atau terlalu banyak makan (menjadi kurus atau kegemukan) 
  • Tidak tenang dan gampang tersinggung 
  • Sakit kepala, masalah pencernaan dan nyeri kronis yang terus menerus
  • Berpikir ingin mati atau bunuh diri


Depresi dapat dicegah dengan cara selalu berpikiran positif, berolahraga dan dan selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif.

Referensi :

Bandura, A. (1986). Social foundations of  thought and action: A social cognitive theory.
            Engewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura, A (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.

Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba Humanika

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed. Jakarta:
            Salemba Humanika.