Sabtu, 16 Januari 2016

Tugas Softskill Minggu Ke-13



Sikap Pekerja Dan Kepuasan Kerja.

A. Teori-teori kepuasan kerja.
      1.      Teori Diskrepansi atau Teori Nilai
           Kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh sejauh mana hitungan antara apa yang diharapkan (das sollen) dan kenyataan yang dirasakan (das sein). Individu akan merasakan kepuasan dalam bekerja bila tidak ada perbedaan yang berarti antara yang diinginkan dengan hasil yang dirasakan karena batas minimalnya telah terpenuhi dengan baik. Bila ternyata apa yang diperoleh (das sein) lebih besar daripada yang diharapkan (das sollen), individu bisa merasakan kepuasan. Akan tetapi, bagi tipe orang yang tergolong moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemungkinan justru hal itu tidak menimbulkan kepuasan.

            Pendapat tersebut dapat dikemukakan dalam skema-skema sederhana berikut ini.
               


Dari skema di atas dapat diketahui bahwa antara apa yang diharapkan (das sollen) lebih besar daripada apa yang dirasakan (das sein), atau apa yang diharapkan sama dengan yang dirasakan sehingga hal ini akan menimbulkan kepuasan kerja bagi seseorang.

      2.      Teori Keadilan (Equity Theory)
       Kepuasan kerja seseorang, menurut As’ad (1987), sangat dipengaruhi oleh terpenuhi tidaknya rasa keadilan (equity) yang diterima dalam kenyataan. Perasaan adil atau tidak adil atas situasi yang dihadapi akan diperoleh melalui perbandingan antara dirinya dengan orang lain yang setaraf, sekantor atau di tempat lain. Elemen teori ini meliputi (a) input, (b) output (hasil), dan (c) perbandingan antara orang satu dan yang lainnya (comparison person).
             a.       Input : Yang dimaksud dengan input adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap sesuatu pekerjaan, misalnya pendidikan, pengalaman, keterampilan, keahlian, dan jumlah jam kerja.
              b.      Output : Mengandung pengertian sebagai segala sesuatu yang dirasakan oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya. Output ini berupa gaji, upah, symbol status, dan kesempatan untuk berprestasi atau kesempatan untuk mengekekspresikan diri atau aktualisasi diri.
              c.       Perbandingan dengan Orang Lain : Dengan siapa seorang membandingkan antara input-output yang dimilikinya. Perbandingan ini dapat dilakukan dengan individu lain dalam satu kantor/pekerjaan, atau di tempat lain, tetapi bisa juga dengan dirinya ketika membandingkan antara hasil masa lalu dengan masa kini.

      3.      Teori Dua Faktor
       Puas tidaknya dalam bekerja bukan merupakan konsep yang kontinu. Herzberg (dalam As’ad, 1987; Greenberg dan Baron, 1997; Bridger, 1995) menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi dua kelompok situasi, yaitu kelompok yang memberi kepuasan (satisfiers) dan kelompok yang tidak memberikan kepuasan (disatisfiers/hygiene factor).
a.       Satifiers : Faktor-faktor yang menjadi sumber kepuasan seseorang dalam bekerja, antara lain prestasi kerja (achievement), kerja itu sendiri memberi kepuasan, tanggung jawab, dan kesempatan promosi.
b.      Disatisfiers : Faktor-faktor yang menjadi sebab munculnya ketidakpuasan seorang individu. Misalnya, administrasi dan kebajikan lembaga, teknik pengawasan, gaji, hubungan interpersonal, kondisi kerja, status, dan jaminan kerja. Perbaikan kondisi ini, misalnya perbaikan gaji dan kondisi kerja; akan mengurangi kertidakpuasan kerja, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena bukan itu yang menjadi sumber kepuasan kerja.

B. Determinan Sikap Kerja
          Sikap kerja dapat dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak. Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik, pekerjaan akan berjalan lancar. Jika tidak berarti akan mengalami kesulitan. Tetapi, bukan berarti adanya kesulitan karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi dalam hubungan antara karyawan yang akibatnya sikap kerjanya diabaikan.
           Gibson (1997), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
            Sada (2000), adalah tindakan yang akan diambil karyawan dan segala sesuatu yang harus dilakukan karyawan tersebut yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan.
Sikap kerja mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif. Sikap kerja yang positif meliputi :
             1) kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok  akan memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-orang secara individual.
              2) rasa memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya tjuan perusahaan.
              3) hubungan antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman sekerja.
               4) suka terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.


C.  Pengukuran Sikap Kerja
               Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal.
              Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983) Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.
             Secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control , pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja.
-Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya atau tidak, ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan).
-Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :
  1. isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan
  2. supervise
  3. organisasi dan manajemen
  4. kesempatan untuk maju
  5. gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
  6. rekan kerja
  7. kondisi pekerjaan
-Menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja, pengukuran sikap/kepuasan kerja, diantaranya :
1. bekerja pada tempat yang tepat
2. pembayaran yang sesuai
3. organisasi dan manajemen
4. supervisi pada pekerjaan yang tepat
5. orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat


Daftar Pustaka :

-Dariyo, A. 2008. Psikologi perkembangan: Dewasa muda. Jakarta: Grasindo.
-Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly. 1997. Organization. Jakarta: Binapura Aksara. 
-Hasibuan, Malayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: BumiAksara.
-Robbins, Stephen P, 2003. Perilaku Organisasi: Jilid 2. Jakarta: PT. Indeks Kelompok                 Gramedia.

Jumat, 08 Januari 2016

Tugas Softskill Minggu Ke-12



Job Enrichment

Merupakan upaya untuk memotivasi karyawan dengan memberi mereka kesempatan untuk menggunakan berbagai kemampuan mereka. Ini adalah ide yangdikembangkan oleh psikolog Amerika. Job enrichment adalah memberikan tugas dan tanggung jawab lebih besar pada karyawan dan menambah pekerjaan dalam hal kualitas, atau kompleksitasnya. Misalnya, seorang teknisi yang biasanya menangani mesin, kemudian ditugaskan untuk menangani mesin baru yang lebih kompleks. 
Job enrichment adalah teknik yang secara perilaku berusaha membangun motivator psikologis sebagaimana digambarkan dalam two-factor theory Herxberg. 
Khususnya program pengayaan pekerjaan berusaha untuk memberikan pekerja otoritas lebih dalam perencanaan kerja dan mengontrol kecapatan dan prosedur yang digunakan dalam melakukan pekerjaan. Contoh yang dilakukan adalah menggunakan test group dan control group. Test group diberikan kepercayaan menandatangani dengan menggunakan namanya kepada surat-surat yang mereka siapkan, mendorong mereka menjadi tenaga ahli dalam masalah-masalah yang mereka hadapi, menjadikan mereka akuntabel terhadap kualitas pekerjaan mereka. Setelah enam bulan, kualitas test group, sikap, produktivitas naik, keterlambatan, absent, dan biaya kerja menurun. Di lain pihak, kinerja kontrol group tetap sama. Tetapi, job enrichment bukan tanpa resiko, mereka yang melakukannya tanpa determinasi yang kuat untuk melakuakn dengan benar akan gagal. Untuk itu diperlukan juga untuk mempertimbangkan dimensi-dimensi pekerjaan inti. 

#Langkah-Langkah dalam Redesign Pekerjaan Untuk Job Enrichment# 
A.Menggabungkan beberapa pekerjaan menjadi satu.  a.Menjadi lebih besar  b.Lebih bervariasi  c.Kecakapan lebih luas 
B.Memberikan modul kerja untuk setiap pekerja. 
C.Memberikan kesempatan pada setiap pekerja untuk dapat       bertanggung jawab.  a.Kesempatan mengatur prosedur kerja sendiri 
D.Memberikan kesempatan pekerja menghubungi kliennya         sendiri secara langsung.  a.Orang – orang yang berhubungan dengan pelaksanaan         kerjanya. 
E.Menciptakan sarana – sarana umpan balik.  a.Pekerja dapat memonitor koreksi diri. 
#Pertimbangan-Pertimbangan Dalam Job Enrichment# 
A.Jika pekerjaan terspesialisir dan sederhana dirancang kembali untuk memotivasi secara intrinsik pada pekerja, maka kualitas pelaksanaan kerja pekerja akan meningkat. 
B.Absensi – absensi dan perpindahan kerja akan berkurang. 
C.Dimensi inti yang berkaitan dengan motivasi intrinsik & lapangan kerja ( Hackman dan Oldham ), yaitu: 
a.Keragaman ketrampilan (skill variety) 
Banyaknya ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam ketrampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. Misalnya, seorang salesman diminta untuk memikirkan dan menggunakan cara menjual yang berbeda, display (etalase) yang berbeda, cara yang lebih baik untuk melakukan pencatatan penjualan. 
b.Jati diri tugas (task identity) 
Tingkat sejauh mana penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dapat dilihat hasilnya dan dapat dikenali sebagai hasil kinerja seseorang. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, seorang salesman diminta untuk membuat catatan tentang penjualan dan konsumen, kemudian mempunyai dan mengatur display sendiri. 
c.Tugas yang penting (task significance) 
Tingkat sejauh mana pekerjaan mempunyai dampak yang berarti bagi kehidupan orang lain, baik orang tersebut merupakan rekan sekerja dalam suatu perusahaan yang sama maupun orang lain di lingkungan sekitar. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. Misalnya, sebuah perusahaan alat-alat rumah tangga ingin mengeluarkan produk panci baru. Para karyawan diberikan tugas untuk mencari kriteria seperti apa panci yang sangat dibutuhkan oleh ibu-ibu masa kini. (tugas tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi karyawan karena hasil kerjanya nanti secara langsung akan memberi manfaat kepada pelanggan) 
d.Otonomi 
Tingkat kebebasan pemegang kerja, yang mempunyai pengertian ketidaktergantungan dan keleluasaan yang diperlukan untuk menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikannya. Pekerjaan yang memberi kebebasan, ketidaktergantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. Misalnya, seorang manager mempercayai salah satu karyawan untuk memperebutkan tender dari klien. Karyawan tersebut menggunakan ide dan caranya sendiri untuk menarik perhatian klien . Karyawan diberi kebebasan untuk mengatur sendiri waktu kerja dan waktu istirahat. 
e.Umpan balik (feed back) 
Memberikan informasi kepada para pekerja tentang hasil pekerjaan sehingga para pekerja dapat segera memperbaiki kualitas dan kinerja pekerjaan. Misalnya, dalam menjual produk salesman didorong untuk mencari sendiri informasi, baik dari atasan maupun dari bagian‑bagian lain, mengenai segala hal yang berkaitan dengan jabatannya serta meminta pendapat konsumen tentang barang‑barang yang dijual, pelayanan, dll.  
Jadi kondisi psikologis kritis karyawan yang muncul karena adanya dimensi utama dalam tugas akan mempengaruhi hasil kerja karyawan yang telah termotivasi secara internal. Berhasil atau tidaknya hasil kerja dalam job enrichment tergantung oleh kekuatan kayawan untuk berkembang dan berpikir positif.

Sumber : 

P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra. 
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.

Sabtu, 02 Januari 2016

Tugas Softskill Ke-10



Assalamualaikum wr. wb.
            Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan tentang teori hirarki Abraham maslow dan kebutuhan yang relevan dengan perilaku dalam organisasi.

A. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow.
            Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut.. Maslow membuat tingkatan kebutuhan manusia menjadi lima karakteristik. sebagai berikut:
a)      Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini
b)      Kebutuhan akan rasa aman
Setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan. Untuk pribadi yang sehat, kebutuhan rasa aman tidak berlebih-lebihan atau selalu mendesak. Kebanyakan diantara kita ini tidak menyerah atau sama sekali tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan rasa aman, tetapi dalam pada itu juga kita merasa tidak puas kalau jaminan dan stabilitas sama sekali tidak ada.
c)      Kebutuhan sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini,belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya seorang sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Maslow percaya bahwa makin lama makin sulit memuaskan kebutuhan akan memiliki dan cinta kerena mobilitas kita.begitu sering kita berganti rumah, tetangga, kota, bahkan pathner, sehingga kita tidak dapat berakar. Kita tidak cukup lama berada disuatu tempat untuk mengembangkan perasaan yang memiliki. Banyak orang dewasa merasakan kesepian dan terisolasi, meskipum mereka hidup ditengah-tengah orang banyak.
d)     Kebutuhan akan penghargaan
Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
e)      Kebutuhan akan aktualisasi diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk tumbuh berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut oleh Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima.
Konsep yang mendasar bagi teori maslow adalah manusia di motivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis atau naluriah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak semata-mata bersifat fisiologis tetapi juga psikologis. Kebutuhan-kebutuhan itu merupakan inti dari kodrat manusia, hanya saja manusia lemah dan mudah diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah aspek instrinsik kodrat manusia yang tidak akan mati karena kebudayaan. Suatu kebutuhan dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. ketidak-hadirannya menimbulkan penyakit
  2. kehadirannya mencegah timbulnya penyakit
  3. pemulihannya menyembuhkan penyakit
  4. dalam situasi tertentu yang sangat komplek dan dimana orang bebas memilih, orang yang sedang berkekurangan ternyata mengutamakan kebutuhan itu dibandingkan jenis-jenis kepuasan lainnya.
  5. Kebutuhan itu tidak aktif, lemah atau secara fungsional tidak terdapat pada orang yang sehat.

B.  Kebutuhan yang relevan dengan perilaku dalam organisasi

Kebutuhan aktualisasi diri, Maslow ingin dirinya diakui oleh orang lain dalam organisasi yang ia geluti.

Daftar Pustaka :
Edward Hoffman. 1988. A Biography of Abraham Maslow. Los Angeles: Jeremy P. Tarcher.